Review
Jurnal Batas Maritim
“Keamanan Maritim Laut
China Selatan : Tantangan dan Harapan”
Penulis :
Dadang Sobar Wirasuta
Jurnal :
Jurnal Pertahanan Desember 2013, Volume 3, Nomor 3
Laut China Selatan
merupakan Kawasan laut semi tertutup atau semi-enclosed sea yang dikelilingi
oleh negara China, Vietnam, Malaysia, Singapura, Indonesia, Brunei Darusalam, Filipina
dan Taiwan. Kawasan ini memiliki aspek strategis yang dapat
mempengaruhi kawasan negara lain baik secara langsung maupun tidak langsung.
Secara geografis, Laut Cina Selatan merupakan salah satu jalur perdagangan yang
menghubungkan Samudra India dan Samudra Pasifik.
Wilayah
yang strategis dan potensi sumber daya
alam yang besar merupakan faktor atau alasan yang menyebabkan Laut Cina Selatan
menjadi sengketa. Karena dilingkupi oleh daratan berbagai negara,
kewenangan atas Laut China Selatan menjadi rumit dengan adanya kompetisi.
Permasalahannya yaitu kedaulatan atas pulau-pulau kecil di Laut China Selatan
yang masih disengketakan. Sengketa muncul dikawasan ini sejak tahun 1947,
ketika China menerbitkan peta yang mengklaim sebagian besar wilayah laut china
selatan. Alasan sejarah menjadi dasar klaim china bahwa gugusan pulau tersebut
telah menjadi wilayah china sejak dinasti han (206-220 SM). Sehingga negara-negara
di sekitar Laut China Selatan mengklaim kepemilikan atas berbagai pulau kecil
yang ada di sana dan sampai kini tidak berhasil mencapai kesepakatan.
Dengan adanya konflik Laut China
Selatan dapat menjadi jalan baru untuk memperoleh sumber daya alam, dimana
beberapa negara melakukan klaim yang sangat mempengaruhi perekonomian dunia.
Dari potensi sumberdaya hayati dan non hayati di kawasan tersebut tentu saja
menjadi alasan sengketa kian pelik. Sehingga situasi di Laut China Selatan
menjadi semakin rumit. Dengan berjalan nya pertumbuhan ekonomi yang tinggi
ditambah dengan regionalisme dan globalisasi sehingga menghasilkan implikasi
munculnya masalah yang berkaitan dengan
keamanan maritim, perbatasan nasional dan sengketa wilayah yang akan sumber
daya.
Dalam jurnal ini juga di bahas
tentang menghadapi keamanan maritim di kawasan Asia Pasifik, Indonesia
mempunyai posisi utama yang dapat dipahami oleh sebuah negara bahwa Indonesia
berupaya untuk menjadi penyeimbang di antara kekuatan-kekuatan besar yang
bersaing di kawasan Asia Tenggara dan Asia Pasifik .
Dengan adanya kerja sama maritim
regional menjadi pilihan cerdas ketika stabilitas menjadi tujuan semua negara
untuk menjaga keamanan regional di Laut China Selatan. Kawasan laut China Selatan
sebagai wilayah yang strategis juga menghadapi sejumlah tantangan maritim yaitu
rivalitas terhadap sumber daya alam (SDA) dan kompetisi perdagangan melalui laut
China Selatan berdasarkan penafsiran sepihak terhadap UNCLOS 1982 dan
klaim-klaim tumpang tindih di Laut China Selatan berdasarkan alasan-alasan
sejarah, pendudukan dan hukum laut. Saling konflik antar negara di Laut China
Selatan terjadi setelah ditemukan sumber minyak bumi dan gas yang melimpah
sehingga menimbulkan konflik maritim di Laut China Selatan antara lain : China dengan Vietnam,
Vietnam dengan Indonesia, Cina dengan Filipina, Cina dengan Malaysia, dan Cina
dengan Brunei Darussalam.
Indonesia telah mengadakan pertemuan
para menteri Pertahanan di kawasan ASEAN, ASEAN Defense Minister Meeting (ADMM) dan
ASEAN Defense Ministers Meeting Plus Expert Working Groups (ADMM Plus EWG) secara rutin dibahas masalah keamanan,
khususnya stabilitas keamanan maritim di kawasan ASEAN, pemeliharaan perdamaian
dan kontra terorisme. Declaration Code of Conduct (DOC) merupakan deklarasi yang dibuat oleh
ASEAN-Cina yang melibatkan negara Cina, Malaysia, Filipina, Vietnam, dan Brunei
yang bersengketa di Laut Cina Selatan minus Taiwan. Ditandatangani pada KTT ASEAN-CINA, 4 November 2002, di
Phnom Penh Kamboja. Kerja sama TNI AL dengan Angkatan Laut negara-negara ASEAN,
semata-mata demi menciptakan hubungan antar negara tetangga yang stabil dan
seimbang untuk menciptakan kondisi yang kondusif di Laut Cina Selatan dan
kawasan Asia Pasifik, serta tidak bertujuan membentuk aliansi kekuatan.
Dampak Sengketa Laut Cina Selatan
Bagi Indonesia yaitu Proses produksi migas di Natuna akan terganggu dan pasti
mengusik pemasukan negara, Perdamaian solusi terbaik, pada tahun 1993 Cina
telah menerbitkan peta U Shape atau
Mone Oash Lines yang memasukkan
wilayah ZEE Indonesia dan Klaim Cina atas kedaulatan Indonesia di Natuna akan
lebih luas. Sudah saatnya Indonesia membentuk armada baru untuk berkonsentrasi
pada pembangunan kemampuan pertahanan laut dan udara sepanjang sesi ZEE Selatan
Indonesia di kawasan Samudra Hindia. Untuk berkonsentrasi pada pembangunan
kekuatan laut dan udara sepanjang sesi ZEE Utara yakni kawasan Samudra Pasifik.
Dari jurnal ini juga dapat disimpulkan,
apabila negara dapat menguasai kawasan tersebut maka akan mendapat untung yang
sangat besar serta sangat berpengaruh dalam dunia internasional dari segi
sosial, ekonomi maupun politik. Dengan adanya konflik antar negara ini,
ketegangan terjadi dimana mana. Bahkan menyeret Amerika Serikat turut dalam
jalannya konflik ini. Semakin tahun semakin memanas dan dengan belum
ditemukannya titik temu penyelesaian sengketa ini. Inti dari semua permasalahan
yang terdapat dalam kawasan ini adalah adanya ketidakpastian hak kepemilikan
atas pulau-pulau dan perairan di sekililing wilayah kepulauan spartly.
Sengketa Laut Cina Selatan harus
menyadarkan diri kita, betapa pentingnya penguasaan laut (Sea Control),
sehingga Indonesia sebagai negara maritim harus mempunyai kekuatan maritim yang
besar, kuat dan profesional untuk melindungi kedaulatan maritim. Indonesia
berkepentingan untuk menegaskan klaimnya terhadap ZEE Indonesia di perairan
utara kepulauan Natuna yang rawan di klaim Cina, jika Cina berhasil mengontrol
seluruh kawasan Laut Cina Selatan yang disengketakan.
Untuk menghadapi tantangan keamanan
maritim yang berkembang di Laut Cina Selatan, sangat diperlukan Regional Maritime Partnership dan kerjasama multilateral Angkatan Laut
ASEAN untuk kepentingan bersama yaitu stabilitas keamanan kawasan Laut Cina
Selatan .